Dear
kawan,
Saya
harus berterima kasih karena kamu memperlihatkan buku itu pertama kali di mobil
jemputan. Ditambah dongeng Mas Dodid tentang legenda Tanah Jawa, serasa ada yg
menyengat saat membaca prolog buku itu dan saya bilang dalam hati “I have to have this book!”. Masalah pengarangnya
adalah puteri Amin rais, cerita bahwa dia puteri mantan pejabat di republik ini
sama sekali tidak menyentuh saya. Lelah lah kita dengan ulah para pejabat itu
kan?
Saya
membaca buku ini sambil lembur cleaning fire side HRSG pagi-siang-malam. Memberi
kesan memori long shift yg dulu sering sekali saya kerjakan, membayangkannya
saja di rumah saya sudah kelelahan. Tanpa terasa buku ini hampir saya
khatamkan, kurang dari 24 jam sejak dibayar, rekor baru saya! Tapi baru ¾ saya
sudah berhenti, slow down dulu,
menarik nafas dan memilih untuk tidak mengabaikan alarm yg sudah meraung-raung
di kepala. Dan alarm inilah yang ingin saya sampaikan kepada kamu, dan siapapun
yg membaca catatan ini.
Dalam tiap bab,
dari awal sekali, Hanum menuliskan tentang Islam seperti keyakinannya. Islam yg
rahmatan lil ‘alamiin, sama seperti
yg saya dan kita semua yakini. Saya sempat merinding membaca bagaimana Fatima
membalas pernghinaan turis tentang kue chroissant.
Saya mendidih membaca Stefen mempertanyakan
eksistensi Tuhan namun sekaligus sangat terharu bagaimana Rangga begitu cerdas
membuat metafora jawaban. Saya merasa terhina membayangkan banyaknya
wanita-wanita muslim Fatima yang terhalang dari karir karena hijabnya, dan
semakin merasa terhina karena nasib itu pernah dialami istri saya sendiri.
Mereka, para
pembenci islam itu, punya ribuan alasan untuk menebarkan kebencian. Dan kita,
hanya punya satu alasan untuk membalasnya dengan kebaikan, yaitu karena kita
adalah Muslim, nothing more!. Murobbi saya dulu menasihati kami agar menjadi Ikhwan
bak pohon mangga yang setiap kali dilempari batu selalu membalas dengan
mengirim buah ranum nan manis. Dalam perenungan perjalanan hidup, saya pun
menemukan banyak sekali kawan dari umat lain menjadi sahabat yang terpercaya,
dan kadang saudara seiman menjadi ular berbisa. Benar juga bahwa kebenaran yang
tidak dikemas dengan baik akan kehilangan daya tusuknya. Walaupun kebenaran yang
dikemas baik tidak selamanya akan diterima dengan baik.
Tidak percaya?
Rasulallah SAW,
junjungan kita, Sang Al-amin nan terpelihara saja butuh waktu dua puluh dua tahun.
Selama dua puluh tahunan itu apakah Rasul selalu tersenyum, membayari makan Kaum
quraisy, berdebat ilmiah penuh metafora atau hal – hal indah lainnya?
Inilah Alarm
yang berbunyi keras di kepala saya sejak halaman terakhir bab pertama.
Ada fase dalam
dakwah di mana Rasul memimpin suatu pasukan berkuda. Ada waktu junjungan kita
menghunus pedang dan menebas musuh. Ada masa beliau pun terluka, terkalahkan dan
kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya di medan laga. Dan itulah awalnya terminologi
Jihad dituliskan dalam agama kita. Ya, jihad itu memang ada! Memang serupa
berperang fisik dan tidak terhindarkan lagi. Dan andai kita mau membuka
kitab-kitab fikih, maka bab Jihad yang menjelaskan peperangan nyaris tidak pernah absen.
Tentang Utsmaniyah,
mereka yg disebut buku ini menghunus pedang ke mana-mana ternyata pernah
disebut rasul dalam suatu hadits yg teramat terkenal. Dan bagi saya, membaca
cerita Sultan Muhammad Al-fatih membuka (bukan menaklukkan) Konstantinopel sangat
menginspirasi! Entah bagaimana membayangkan mengangkut puluhan kapal melalui
darat untuk bisa menyerang kota yang berkali-kali gagal ditembus pasukan khusus
dan meriam tercanggih masa itu. Dan yang lebih menginspirasi lagi adalah
bagaimana Sang sultan melindungi semua orang dari semua agama setelah kota itu
dikuasainya. Bayangkan bedanya dengan ratu Isabella yg memaksa orang Islam dan
Yahudi di Andalusia memakan babi!
Abdullah berkata: Ketika kita
sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau
ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau
Rumiyah? Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Yaitu:
Konstantinopel.
(HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim) Dalam riwayat lain disebutkan : “Yang menaklukannya , adalah sebaik-baiknya pasukan, dan pemimpinnya adalah sebaik-baiknya Panglima”.
(HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim) Dalam riwayat lain disebutkan : “Yang menaklukannya , adalah sebaik-baiknya pasukan, dan pemimpinnya adalah sebaik-baiknya Panglima”.
Saat ini memang
bukan saatnya jihad fisik itu, di Indonesia terutama. Mereka yg menaburkan maut
lewat bom dan aneka terror di tanah ini selayaknya tidak disebut syuhada. Tapi ada
di bagian lain dunia, anak-anak kecil melempari tank dengan batu jalanan. Ada di
bagian dunia lain, moncong senjata diarahkan kepada wanita dan anak-anak tak
berdosa, hanya karena mereka muslim. Akankah peluru musuh akan berhenti berdesing
hanya dengan senyuman? Andai memang begitu, saya yakin 1000 % dulu Jenderal
Soedirman akan tersenyum saja tanpa perlu bergerilya sedemikian menderita.
Di sini, tanah
air tercinta ini, jihad terbaik adalah menjadi muslim profesional. Tindakan itu
mempengaruhi orang ribuan kali lebih kuat dari kata-kata. Lihat bagaimana beberapa
sahabat kita jadi membuat stigma jelek tentang sarung, peci dan kerudung karena
oknum-oknum tersebut sering mengemudi seenaknya di jalan raya. Stigma yang lama-lama akan bergeser menjadi
kebencian dan antipati. Lalu dari sarung kebenciannya lari ke santri,
institusi pesantren, kyai, ulama dan akhirnya Islam. Bagaimana jika Muslim sudah membenci Islam?
Bolehlah kita
curiga bahwa bukanlah Israel yang menumbuhkan antipati dan anti islam di negeri
ini, tapi mungkin kita sendiri. Lewat rendahnya disiplin kita mempertontonkan
keacuhan. Lihatlah bagaimana oknum yang rajin ke masjid berani merokok di area
bebas asap rokok! Lewat kemalasan kita mempertontonkan kebodohan pada dunia. Lihatlah
bagaimana kita suka sekali membuat mitigasi masalah jangka pendek tanpa analisa
mendalam! Lewat keserakahan kita mewariskan kemiskinan pada anak cucu. Lihatlah
berita korupsi di tivi! Yang melanggar aturan itu orang islam, yang suka
menambal sulam itu orang islam dan yang korupsi juga orang islam. Ups maaf,
oknum-oknum yang kebetulan beragama islam.
Sampai sini,
saya yakin insyaallah alarm di kepalamu juga sudah berbunyi.
Pesisir
Pasuruan, Oktober 2011
Ayah
Alfarizky Hasan Nurdianto