Minggu, 09 Oktober 2011

Dari Buku 99 Cahaya di langit Eropa


                Dear kawan,
               Saya harus berterima kasih karena kamu memperlihatkan buku itu pertama kali di mobil jemputan. Ditambah dongeng Mas Dodid tentang legenda Tanah Jawa, serasa ada yg menyengat saat membaca prolog buku itu dan saya bilang dalam hati “I have to have this book!”. Masalah pengarangnya adalah puteri Amin rais, cerita bahwa dia puteri mantan pejabat di republik ini sama sekali tidak menyentuh saya. Lelah lah kita dengan ulah para pejabat itu kan?
               Saya membaca buku ini sambil lembur cleaning fire side HRSG pagi-siang-malam. Memberi kesan memori long shift yg dulu sering sekali saya kerjakan, membayangkannya saja di rumah saya sudah kelelahan. Tanpa terasa buku ini hampir saya khatamkan, kurang dari 24 jam sejak dibayar, rekor baru saya! Tapi baru ¾ saya sudah berhenti, slow down dulu, menarik nafas dan memilih untuk tidak mengabaikan alarm yg sudah meraung-raung di kepala. Dan alarm inilah yang ingin saya sampaikan kepada kamu, dan siapapun yg membaca catatan ini.
Dalam tiap bab, dari awal sekali, Hanum menuliskan tentang Islam seperti keyakinannya. Islam yg rahmatan lil ‘alamiin, sama seperti yg saya dan kita semua yakini. Saya sempat merinding membaca bagaimana Fatima membalas pernghinaan turis tentang kue chroissant. Saya mendidih membaca  Stefen mempertanyakan eksistensi Tuhan namun sekaligus sangat terharu bagaimana Rangga begitu cerdas membuat metafora jawaban. Saya merasa terhina membayangkan banyaknya wanita-wanita muslim Fatima yang terhalang dari karir karena hijabnya, dan semakin merasa terhina karena nasib itu pernah dialami istri saya sendiri.
Mereka, para pembenci islam itu, punya ribuan alasan untuk menebarkan kebencian. Dan kita, hanya punya satu alasan untuk membalasnya dengan kebaikan, yaitu karena kita adalah Muslim, nothing more!. Murobbi  saya dulu menasihati kami agar menjadi Ikhwan bak pohon mangga yang setiap kali dilempari batu selalu membalas dengan mengirim buah ranum nan manis. Dalam perenungan perjalanan hidup, saya pun menemukan banyak sekali kawan dari umat lain menjadi sahabat yang terpercaya, dan kadang saudara seiman menjadi ular berbisa. Benar juga bahwa kebenaran yang tidak dikemas dengan baik akan kehilangan daya tusuknya. Walaupun kebenaran yang dikemas baik tidak selamanya akan diterima dengan baik.
Tidak percaya?
Rasulallah SAW, junjungan kita, Sang Al-amin nan terpelihara saja butuh waktu dua puluh dua tahun. Selama dua puluh tahunan itu apakah Rasul selalu tersenyum, membayari makan Kaum quraisy, berdebat ilmiah penuh metafora atau hal – hal indah lainnya?
Inilah Alarm yang berbunyi keras di kepala saya sejak halaman terakhir bab pertama.
Ada fase dalam dakwah di mana Rasul memimpin suatu pasukan berkuda. Ada waktu junjungan kita menghunus pedang dan menebas musuh. Ada masa beliau pun terluka, terkalahkan dan kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya di medan laga. Dan itulah awalnya terminologi Jihad dituliskan dalam agama kita. Ya, jihad itu memang ada! Memang serupa berperang fisik dan tidak terhindarkan lagi. Dan andai kita mau membuka kitab-kitab fikih, maka bab Jihad yang menjelaskan peperangan  nyaris tidak pernah absen.
Tentang Utsmaniyah, mereka yg disebut buku ini menghunus pedang ke mana-mana ternyata pernah disebut rasul dalam suatu hadits yg teramat terkenal. Dan bagi saya, membaca cerita Sultan Muhammad Al-fatih membuka (bukan menaklukkan) Konstantinopel sangat menginspirasi! Entah bagaimana membayangkan mengangkut puluhan kapal melalui darat untuk bisa menyerang kota yang berkali-kali gagal ditembus pasukan khusus dan meriam tercanggih masa itu. Dan yang lebih menginspirasi lagi adalah bagaimana Sang sultan melindungi semua orang dari semua agama setelah kota itu dikuasainya. Bayangkan bedanya dengan ratu Isabella yg memaksa orang Islam dan Yahudi di Andalusia memakan babi!
                Abdullah berkata: Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Rumiyah? Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Yaitu: Konstantinopel.
(HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim)  Dalam riwayat lain disebutkan : “Yang menaklukannya , adalah sebaik-baiknya pasukan, dan pemimpinnya adalah sebaik-baiknya Panglima”.
Saat ini memang bukan saatnya jihad fisik itu, di Indonesia terutama. Mereka yg menaburkan maut lewat bom dan aneka terror di tanah ini selayaknya tidak disebut syuhada. Tapi ada di bagian lain dunia, anak-anak kecil melempari tank dengan batu jalanan. Ada di bagian dunia lain, moncong senjata diarahkan kepada wanita dan anak-anak tak berdosa, hanya karena mereka muslim. Akankah peluru musuh akan berhenti berdesing hanya dengan senyuman? Andai memang begitu, saya yakin 1000 % dulu Jenderal Soedirman akan tersenyum saja tanpa perlu bergerilya sedemikian menderita.
Di sini, tanah air tercinta ini, jihad terbaik adalah menjadi muslim profesional. Tindakan itu mempengaruhi orang ribuan kali lebih kuat dari kata-kata. Lihat bagaimana beberapa sahabat kita jadi membuat stigma jelek tentang sarung, peci dan kerudung karena oknum-oknum tersebut sering mengemudi seenaknya di jalan raya.  Stigma yang lama-lama akan bergeser menjadi kebencian dan antipati. Lalu dari sarung kebenciannya lari ke santri, institusi pesantren, kyai, ulama dan akhirnya Islam. Bagaimana jika Muslim sudah membenci Islam?
Bolehlah kita curiga bahwa bukanlah Israel yang menumbuhkan antipati dan anti islam di negeri ini, tapi mungkin kita sendiri. Lewat rendahnya disiplin kita mempertontonkan keacuhan. Lihatlah bagaimana oknum yang rajin ke masjid berani merokok di area bebas asap rokok! Lewat kemalasan kita mempertontonkan kebodohan pada dunia. Lihatlah bagaimana kita suka sekali membuat mitigasi masalah jangka pendek tanpa analisa mendalam! Lewat keserakahan kita mewariskan kemiskinan pada anak cucu. Lihatlah berita korupsi di tivi! Yang melanggar aturan itu orang islam, yang suka menambal sulam itu orang islam dan yang korupsi juga orang islam. Ups maaf, oknum-oknum yang kebetulan beragama islam.
Sampai sini, saya yakin insyaallah alarm di kepalamu juga sudah berbunyi.
Pesisir Pasuruan, Oktober 2011
Ayah Alfarizky Hasan Nurdianto

Selasa, 20 September 2011

Lagu Cinta

Memang belum pernah ada yg bisa menandingi indahnya opera hujan di Bogor. Irama tetesan hujan, anginnya yg melesat di antara pohon-pohon dan daun-daun yg ikhlas menari dalam tiupan badai bersama tabuhan perkusi yg dimainkan petir lewat sinaran kilat yg sesekali menghentak seolah jadi iringan parade hidup.

Aku yg termanggu masih seolah tidak percaya apa yg telah aku lewati selama tahun-tahun parade itu berlangsung. Aku seolah lupa pada tiap not irama indah yg dimainkan di depan wajahku. Pada ayam-ayam jantan yg tiada terlupa berzikir di pagi buta. Pada setiap senyuman yg menetes di sela-sela hari sibukku.

…………………………….

Teringat saat Ari kecil duduk di depan tumpukan Buku Psikologi dan Kitab Fikih, membaca sesuatu yg mungkin sangat tidak dia perlukan. Fikirannya menyelam dalam tiap huruf Ayat dan Hadits, tiap guratan tinta para filosof. Semua dalil dan bantahan, pendapat dan debat memenuhi kepala dan meemberatkan mata, lalu dia pun terlelap.

Saat mentari mulai menari mengusik tidurnya, ditatapnya wanita tua itu. Kepalanya  yg tertutup uban putih seolah memberitahukan perjalanan panjang dan pengalaman. Keriputnya adalah tamu yg selalu datang sebagai tanda betapa semakin dekat pada waktunya. Tapi senyumannya menyiratkan deretan putih  ikhlas hati. Dan saat jari-jari tua itu membelai lembut rambut-rambut egois di kepala Ari yg kosong, dari jauh lubuk hati yg paling dalam..Ari merasakan cinta.

Cinta yg selalu datang saat Ari tertidur di atas tumpukan buku. Cinta yg selalu menggantikan buku-buku itu dengan bantal yg lembut dan selimut yg hangat. Cinta yg mengguratkan tanda merah di punggung atau cinta yg mengoleskan sekedar minyak angin di kepala anak yg terlalu banyak ingin tahu itu.

Cinta itu tidak pernah marah walau separah apapun kekotoran yg dibuat Ari. Tidak ada omelan dan cacian keluar walau tak terhitung piring yg pecah oleh anak itu. Juga tangan cinta yg hanya mengusap dan membelai seolah tak punya tenaga untuk memukul pada kebandelan apapun. Hanya cinta, cinta dan cinta yg ada. Yg bicara dalam bahasa cinta, bergerak dalam aliran cinta dan berhenti dalam nafas cinta, untuk kembali kepada Sang Maha Pencinta.

………………………………………

Ya Allah, Wahai pemilik Cinta
Kumohonkan pada-Mu, satu cinta pada hari ini..

Jagalah dia, dalam tidur panjangnya
Gantilah tanah keras itu dengan bantal dan selimut Kelembutan-Mu,
Sebagaimana dia senantiasa memberi Hamba bantal dan selimut yg lembut.

Tanyailah dia dengan Kasih Sayang-Mu,
Sebagaimana dia selalu bertanya dalam cinta.

Tuntunlah dia di Jembatan-Mu,
Sebagaimana dia selalu menuntun hamba saat mulai berjalan dulu.

....................................................

Ari kecil mulai beranjak dewasa, matanya terbuka menimbang hitam dan putih. Tapi dalam hati dia merindu, sesuatu yg pernah menyentuh rambutnya, sesuatu yg telah menyentuh hatinya.